
Kapan Konsultasi Benar-Benar Bermakna?
Di banyak ruang musyawarah, pola yang sama terus berulang. Tokoh laki-laki duduk di depan, perempuan dan pemuda di belakang. Retorika pelaksana proyek panjang lebar, lalu acara ditutup dengan tanda tangan daftar hadir dan foto bersama.
Apakah itu yang disebut konsultasi bermakna? Istilah ini kian populer dalam proyek pembangunan, terutama yang dibiayai lembaga internasional. “Bermakna” seharusnya memberi arti lebih dari sekadar formalitas. Konsultasi menuntut ruang dialog, mendengar aspirasi, dan memberi pengaruh nyata pada keputusan. Namun di lapangan, praktiknya sering kering makna. Pertemuan sebatas ritual administratif untuk memenuhi laporan.
Formalitas Tanpa Suara
Masalah pertama dari banyak proses konsultasi adalah inklusivitas. Pertemuan sering hanya melibatkan pemerintah lokal atau tokoh formal, sementara kelompok rentan yang justru paling terdampak jarang mendapat ruang. Perempuan, warga yang menggantungkan hidup dari tambak kerap absen dari meja diskusi.
Konsultasi juga sering berhenti pada monolog. Pelaksana proyek berbicara, masyarakat mendengar. Kritik jarang diundang, apalagi diakomodasi. Kalaupun ada sesi tanya jawab, waktunya terbatas, dan jawabannya cenderung normatif. Tidak jarang, masukan masyarakat menguap tanpa tindak lanjut.
Dalam banyak kasus, konsultasi dilakukan sekali untuk memenuhi prosedur. Tidak ada umpan balik. Tidak ada penjelasan bagaimana aspirasi masyarakat dipertimbangkan. Akibatnya, ketika proyek berjalan, masyarakat merasa tidak memiliki kendali. Mereka sekadar penerima dampak, bukan bagian dari proses.
Konsultasi baru bisa disebut bermakna jika inklusif, dialogis, dan berkelanjutan. Artinya, semua pihak terdampak punya ruang bersuara, bukan hanya aparat dan perangkat pemerintah. Disana komunikasi dua arah berlangsung, bukan sekadar sosialisasi sepihak, melainkan forum tanya jawab, kritik, hingga negosiasi. Bahkan didalamnya ada tuntutan proses yang tidak berhenti pada satu pertemuan. Dari sanalah kepercayaan akan tumbuh lewat interaksi berulang, dengan umpan balik yang jelas. Tanpa itu, konsultasi hanyalah acara seremonial yang miskin makna.
Menghadirkan konsultasi bermakna memang lebih sulit. Ia butuh waktu, biaya, dan tenaga. Namun manfaatnya jauh lebih besar. Ketika masyarakat merasa dilibatkan sejak awal, mereka cenderung mendukung dan menjaga program. Rasa memiliki muncul karena keputusan tidak diambil sepihak. Sebaliknya, program yang diputuskan tanpa mendengar suara masyarakat mudah menghadapi resistensi, atau berhenti begitu pendanaan selesai.
Investasi Sosial, Bukan Sekadar Kewajiban
Dalam konteks proyek peningkatan infrastruktur budidaya udang (IISAP) di Serang, Pinrang, alih-alih percepatan pengerjaan proyek revitalisasi saluran, konsultasi bermakna adalah investasi sosial. Ia menumbuhkan kepercayaan, dan kepercayaan adalah modal yang jauh lebih berharga daripada sekadar infrastruktur fisik. Jalan atau tambak bisa rusak, tapi kepercayaan yang terbangun akan melahirkan kerjasama jangka panjang.
Lembaga donor internasional seperti ADB menjadikan konsultasi bermakna sebagai syarat baku. Namun, jika hanya dipahami sebagai kewajiban administratif, makna itu hilang. Konsultasi berubah menjadi prosedur daftar periksa belaka, bukan bagian inti dari pembangunan.
Esensi konsultasi bermakna sebenarnya sederhana: menghormati martabat manusia. Setiap orang berhak didengar dalam keputusan yang menyangkut hidupnya. Pembangunan tanpa suara warga adalah pembangunan yang pincang, meski tampak megah di laporan.
Kapan konsultasi benar-benar bermakna? Ketika ia memberi ruang bagi semua pihak, membuka dialog yang jujur, dan berlanjut hingga ke tahap keputusan. Seperti yang ditunjukkan Ibu Amriah, petambak perempuan dari kelompok Mario Marannu. Di forum konsultasi bermakna IISAP di Aula Kecamatan Duampanua, 15 Agustus lalu, ia berani mempertanyakan lambannya revitalisasi saluran tambak yang menjadi tumpuan penghidupan. Suaranya menggambarkan esensi konsultasi bermakna. Keberanian perempuan berbicara, dan kesediaan pengambil keputusan untuk mendengar.
Terakhir, selama konsultasi masih diperlakukan sebagai formalitas, ia akan gagal memberi makna. Hanya ketika masyarakat merasa didengar dan aspirasinya berpengaruh, konsultasi bisa menjadi fondasi kepercayaan. Dan tanpa kepercayaan, pembangunan hanyalah bangunan kosong yang cepat rapuh.
Tabik !