
MENGGALI HARAPAN PETAMBAK PEREMPUAN PINRANG MELAWAN ARUS URBANISASI Bagian 2
MENGGALI HARAPAN
PETAMBAK PEREMPUAN PINRANG MELAWAN ARUS URBANISASI
KONTRIBUTOR | FASILITATOR PINRANG
|
ujan gerimis pertengahan November tidak memupus harapan Ibu Hasmawati (41) agar debit air tambaknya bisa bertambah. Tambak yang sudah dikelolanya selama empat tahun lebih, tidak produktif lagi. Kurangnya pasokan air Muara Induk Passorongan penyebab
utama gagal panen budidaya perikanan yang dilakoninya.
Hasma adalah salah satu petambak perempuan di Serang, Kelurahan Data, Pinrang. Bersama suaminya, dia menggarap tiga petak tambak untuk menghidupi lima orang anak. Dua putrinya saat ini sudah melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Sementara tiga putranya masih duduk di bangku sekolah dasar.
"Dulu, sebelum bermukim di Serang, saya pernah menggarap sawah bersama suami. Tapi tidak berselang lama, setelah tuan tanah mengambil alih. Saya lalu mengajak suami kembali ke Serang, mengelola tambak warisan orang tua. Apalagi sejak kecil saya sudah terbiasa bekerja di tambak bersama kedua orang tua dan karib-kerabat perempuan" ujarnya sambil menyuguhkan kopi kepada Fasilitator siang itu.
Bagi Hasma, hasil tambak adalah kunci menghidupi keluarganya. Warga Serang mengakui tidak ada pekerjaan lain bisa menghasilkan uang selain jadi petambak. Mengingat Serang adalah salah satu wilayah sentra pertambakan di Pinrang. Rata-rata penduduk disini bekerja sebagai petambak. Pun jika tidak menjadi petambak, warga memutuskan merantau ke Morowali atau Malaysia.
"Sekarang uang semester semakin mahal. Belum lagi, biaya hidup kalau anak-anak kuliah di kota Makassar. Setiap pembayaran semester, kami berdua sudah pasang kuda-kuda mencari pembayaran kuliah mereka.
Demi biaya pendidikan, kami rela pergi siang-malam di tambak" Kata Hasmawati, yang sudah terbiasa bergantian jaga tambak dengan suaminya.
Untuk budidaya udang, Hasma membutuhkan biaya produksi sekitar 5 sampai 7 juta pada setiap petakan. Dalam satu siklus panen, lima puluh hari, ibu lima anak ini bisa meraup sekitar 8 juta. Jumlah yang terbilang rendah jika dibandingkan hasil panen tiga tahun lalu, bisa tiga kali lipat pada petakan yang sama.
Menurut Hasma, dua tahun terakhir hasil panen tidak menentu. Selain pendangkalan saluran irigasi, perubahan cuaca turut mempengaruhi kegiatan budidaya. Kemarin hujan, hari ini gerimis, lalu besok panas ekstrim. Kondisi cuaca seperti ini menguras tenaga bagi petambak perempuan sepertinya. Setelah bekerja di tambak, kegiatan rumah tangga sudah menunggu di rumah.
"Kalau bukan di tambak, yah masak dan beberes rumah, demikianlah rutinitas saya sehari-hari. Makanya saya jarang ikut rapat dan pelatihan jika diundang Penyuluh," ujarnya. Padahal Hasmawati tertarik mengikuti pelatihan, utamanya belajar mengolah produk perikanan yang punya nilai tambah jika dipasarkan. "Kalau anak libur kuliah, kami sering mengulik cara membuat abon ikan dan udang di internet. Ternyata untungnya bagus, lumayan buat tambahan jajan anak sekolah" tegasnya.
Beban kerja petambak perempuan seperti Bu Hasma tidak memberikan kesempatan mengembagkan minat dalam mengolah hasil perikanan yang bernilai tambah. Selain itu, keterbatasan pengetahuan menjadi penghambat memulai usaha produk hasil perikanan. Hasma menjelaskan, jika hasil panen melimpah, terpaksa dijual murah kepada pengepul agar ikan tidak busuk.
Hasma berharap sebagian hasil panen bisa diolah menjadi aneka produk makanan khas seperti abon, ikan bandeng tanpa tulang, dan bakso ikan. Menurutnya, mengolah ikan atau udang cukup mudah, hanya saja usahanya digagalkan keterbatasan fasilitas pengolahan, akses modal dan pemasaran produk, hingga minimnya dukungan anggota kelompok perempuan di tempatnya.
"Saya bingung memulai dari mana, begitu pula ibu-ibu lokal disini. Pengetahuan kami hanya sebatas mengolah ikan, alih-alih memasarkan produk, hasil panen saja kami kewalahan menjual" pungkasnya.
Hasma, merupakan potret petambak perempuan di salah satu daerah sentra perikanan Pinrang. Harapan Hasma dan ratusan perempuan di wilayah ini, jelas memiliki mimpi menjadi pelaku usaha di sektor pengolah dan pemasar hasil perikanan. Dengan begitu, hasil olahan perikanan bernilai tambah yang tinggi dapat meringankan biaya hidup dan sekolah bagi keluarganya.
Setiap siklus panen, khusus Serang, 30 persen dijual murah ke Pengepul. Pada 2023, menurut data dari UKM 88 Marijo yang berbasis di Kota Pinrang, omset rata-rata perbulan dari produksi 3 hingga 4 ton adalah 120 juta. Tentunya, selain meningkatkan kesejahteraan warga serang, hasil usaha olahan perikanan tersebut dapat membuka lapangan kerja baru, khususnya tenaga kerja perempuan lokal.
Petambak Perempuan dan Resolusi Masa Depan
Basis data anggota kelompok petambak tradisional calon penerima manfaat IISAP ADB di Pinrang, dari total 131 orang, 28 diantaranya petambak perempuan. Kesemuanya hanya menggantungkan hidup dari hasil tambak. Dengan kondisi pendangkalan saluran dan krisis iklim, hasil panen tidak menentu yang menyebabkan mereka rentan miskin. Bahkan buruh kasar di Morowali dan Malaysia menjadi pilihan terakhir.
"Biarlah saya dan suami yang mengurus tambak, meskipun hasil panen kurang, setidaknya bisa menutupi biaya kuliah dan sekolah anak kami. Jika panen gagal sampai tahun depan, kemungkinan satu atau dua petak akan dijual. Tidak ada pilihan lain, apalagi kalau sudah mendesak, kemungkinan pilihan menjadi TKI ke Malaysia akan saya pertimbangkan dan suami" ujar Hasma.
Dia berharap program yang digagas KKP bisa membangkitkan lagi produktivitas tambaknya. Dia tidak ingin merantau lagi, meninggalkan anak-anaknya yang masih sekolah. "Merantau sebetulnya bukan pilihan, tapi mau bagaimana lagi, demi masa depan anak-anak," ungkap Hasma sambil mengelus dada.