Mengupayakan Pendampingan yang Kohesif Bagi Kelompok Perempuan

Pelbagai penelitian dan tulisan menunjukkan bahwa peran Perempuan terutama pada ranah publik, mengalami suatu alienasi dimana kesadaran Perempuan semakin terkooptasi secara sepihak dalam kesadaran bertindak, kemandirian berpikir, kebebasan mengakses kebijakan, serta kesempatan untuk terlibat dalam mengambil keputusan semakin berjarak dari kelompok Perempuan.

Terciptanya kesenjangan bagi kelompok Perempuan adalah suatu kondisi yang disiniyalir menjadi salah satu pemicu munculnya kekerasan dalam rumah tangga atau patologi sosial berbasis gender. Demikian juga dalam mengeksplorasi sekaligus menyuarakan pengetahuan, seringkali Perempuan terjerembab dalam dominasi alam pikir kelompok Laki-Laki.

Kondisi ini dengan sangat cermat digambarkan oleh Ann R. Tickamyer dalam bukunya Kekuasaan, Perubahan, dan Hubungan Gender di Pedesaan Jawa, bahwa Perempuan seringkali menggemakan alasan-alasan yang sudah dikemukakan oleh Laki-Laki sembari, dan tentu saja yang lebih rumit, Perempuan juga seringkali mendeskripsikan kelemahan-kelemahannya sendiri.

Meskipun apa yang digambarkan oleh Tickamyer berlatar konteks Masyarakat pedesaan di Jawa, namun sebenarnya narasi dan penggambaran di atas juga terjadi di dua Desa rencana pelaksanaan Program Infrastructure Improvement for Shrimp Aquaculture Project (IISAP), yakni di Desa Manyampa dan Desa Garanta Kecamatan Ujung Loe Kabupaten Bulukumba.

Pada periode oktober-november 2024, saat dilakukan asesmen secara partisipatif dengan angket semi terbuka kepada calon penerima manfaat kelompok Perempuan terkait kondisi sosial ekonomi dan preferensi mereka untuk pelatihan atau pengembangan diri, terungkap bahwa Perempuan Petambak atau Perempuan keluarga Petambak berada dalam kondisi yang cukup sulit dalam daya tawar sosial ekonomi dan juga akses terhadap usaha mengembangkan diri. Dari 14 Perempuan anggota kelompok yang diajak wawancara dan berdiskusi, 11 orang diantaranya menyampaikan secara gamblang bahwa dirinya lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengurus kebutuhan domestik keluarga, dari memasak, mencuci, membersihkan rumah, dan mengurus anak. Meskipun tidak seluruhnya secara penuh waktu, namun mereka yang membagi waktu mengurus kebutuhan domestik dan masuk dalam ranah produksi, namun itu diakuinya berdasarkan perintah atau sekurang-kurangnya atas izin suami. Hal yang lebih longgar dirasakan oleh mereka yang berstatus single fighter dimana merasa sedikit lebih leluasa dalam mengatur waktu yang meski pun tetap berada dalam bayang-bayang stigma sosial.

Hal ini menunjukkan bahwa bahkan dalam hal untuk menentukan skala waktu dan penghidupan pun, Perempuan masih berada dalam dominasi alam pikir Laki-Laki. Kondisi inilah yang sering memunculkan pameo di tengah Masyarakat yang secara prinsip sangat bias gender bahwa; Laki-Laki menghidupi dan Perempuan dihidupi. Suatu aksen kalimat yang menunjukkan ekses yang sangat stereotipe, kalimat yang menegaskan secara dominatif bahwa Perempuan sepenuhnya bergantung hidup pada Laki-Laki.

Pengalaman keterlibatan Perempuan dalam berkelompok dan penguatan komunitas, hanya terdapat 2 dari 14 orang anggota kelompok yang pernah terlibat dalam suatu kelembagaan atau komunitas sebelum tergabung dalam pokdakan, serta hanya terdapat 1 orang anggota kelompok yang pernah mengikuti pelatihan. Mereka yang memiliki pengalaman berkelompok sebelumnya pun dirasakan hanya sebatas formalitas dan seremonial.

Fakta yang terungkapkan di atas menunjukkan bahwa kelompok Perempuan masih berada dalam arus domestifikasi. Akses Perempuan masih sangat minim pada ranah yang sifatnya lebih terbuka dan setara untuk pengembangan diri. Sebagai contoh, keterlibatan kelompok Perempuan dalam agenda-agenda kelompok masih sangat minim jika tak bisa dikatakan tidak terdapat sama sekali.

Keterbatasan itu tidak hanya disebabkan oleh faktor akses pendidikan dan arus informasi tetapi juga terbangun secara terberi atau taken for granted, sebab pada semua tingkatan umur dan tingkatan pendidikan kelompok Perempuan mengalami hal yang sama. Faktor terberi atau given adalah suatu kondisi di mana kelompok Perempuan telempar di dalamnya yang terbangun dan mengakar oleh faktor ideologi keluarga, keumuman kehidupan masyarakat, asumsi budaya, serta akses kebijakan.

Saat dilakukan pertemuan kelompok misalnya, Perempuan seringkali terbentur dengan waktu pelaksanaan pertemuan kelompok dengan waktu bekerja di rumah. Belum lagi jika pertemuan kelompok yang dilakukan tidak diinisiasi oleh kelompok itu sendiri dimana penentuan waktunya seringkali secara sepihak dan keputusan “dari atas”.

Kelompok Perempuan yang perlahan bisa keluar dari kondisi terberi dapat terlihat bagi mereka yang sedikitnya dapat berdaya secara ekonomi seperti berprofesi sebagai pedagang dengan kondisi penghiduan yang mulai membaik. Perempuan yang cukup tereksplorasi dalam ranah produksi budidaya tambak juga menunjukkan keterkaitan ranah ekonomi yang lebih tercerahkan dan berdaya. Kelompok ini biasanya mendapat tempat yang lebih baik di dalam kelompok meski pun tentu saja tetap dilingkari norma-norma yang didominasi oleh Laki-Laki.

Keterlibatan Perempuan dalam kelompok dapat diupayakan dengan mengajak pemahaman bersama. semisal mengupayakan kelompok Perempuan untuk terlibat dalam struktur kelompok serta diupayakan untuk mendapatkan ruang eksplorasi yang lebih memadai dan menjangkau pemikiran berbagai pihak. Meskipun langkah ini masih terbatas pada hal normatif, tetapi langkah minimalnya bisa menkonfirmasi kelompok Perempuan dalam akses informasi dan publikasi kebijakan.

Melampaui kondisi normatif di atas, Perempuan bisa berdaya dengan menghidupkan ruang eksplorasi kreatifitas yang dapat menunjang strategi penghidupannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa Perempuan hidup dalam stereotipe sebagai “orang yang harus dihidupi” yang menunjukkan bahwa mereka kelompok yang lemah. Sementara faktanya mereka menghidupi banyak keluarga dengan memastikan bahwa kelangsungan kebutuhan keluarga dilakukannya dengan mengerahkan segala kemampuan, pikiran, tenaga, dan waktunya untuk memastikan kelompok keluarga yang “menghidupi” dapat terus bekerja atau berakitiftas. Ini tentu saja menjadi antitesa yang sangat terang benderang bahwa pada dasarnya kelompok Perempuan bukanlah pihak yang lemah.

Hal lain yang dapat ditunjukkan misalnya pada kelompok Perempuan petambak yang berstatus single fighter. Dapat sebutkan misalnya dalam kasus ini seperti yang terjadi pada Ibu Hj Roswani (47 tahun) yang berstatus sebagai janda dan menghidupi dua orang anaknya. Ibu Hj Roswani yang juga tergabung sebagai calon penerima manfaat program IISAP, selain memiliki tambak yang dikelola bersama saudara Laki-Lakinya, ia juga bekerja sebagai pedagang ikan di Tempat Pelelangan Ikan secara penuh waktu. Pekerjaannya sebagai pedagang ikan tidak hanya sebatas mengatur dan mengelola manajemen dagangnya, tetapi juga terlibat dalam pekerjaan fisik seperti mengangkut atau memindahkan ikan dari kapal nelayan ke mobil pengason. Dirinya juga harus menempuh perjalanan dari rumahnya di Dusun Luppung Desa Manyampa ke Tempat Pelelangan Ikan di Bira sejauh 20 kilomoter setiap saat dengan menggunakan kendaraan roda dua. Sekali lagi, fakta ini menunjukkan bahwa Perempuan bukanlah kelompok yang lemah.

Kisah lain juga dapat diceritakan dari seorang kelompok Perempuan bernama Ibu Mahrani (46 tahun) yang mengelola tambaknya sendiri secara
penuh waktu. Ibu Maharani seorang Perempuan yang juga calon penerima manfaat program IISAP, sehari-harinya menggeluti kehidupan bertambak, baik dalam hal penanganan manajemen keuangan tambak sampai pada hal teknis budidaya. Menggeluti tambak bagi Ibu Mahrani, bukanlah suatu penghidupan yang lahir dari turun temurun keluarganya sebab Ia lahir dari keluarga dan lingkungan ladang kering.

Namun setelah menikah, dirinya mengenal budidaya bertambak dan seiring berjalan waktu dapat sangat karib dengan penghidupan sosial eknonomi tambak bahkan istilah teknis dalam budidaya tambak. Suami dari Ibu Mahrani adalah seorang yang lahir dalam keluarga petambak namun kini dirinya memutuskan merantau setelah sektor budidaya tambak dianggapnya tidak lagi cukup memadai. Hal ini diutarakannya sebab rantai budidaya tambak bergantung pada musim dan hasil musiman sementara kebutuhan sehari-hari terus dirasakan membengkak terutama ketika anak-anaknya mulai bersekolah.

Setelah suaminya memutuskan merantau, maka praktis budidaya bertambak sepenuhnya digeluti oleh Ibu Mahrani. Dirinya harus memilah waktu secara cermat antara mengatur kebutuhan domestik keluarga dan mengurus sektor produksi budidaya tambak. Di pagi hari setelah mengurus anak-anaknya, dirinya akan berangkat ke tambak, memantau, menata dan memperbaiki kerusakan infrastruktur tambak, termasuk pengamanan tambak dari berbagai kejadian patologi sosial yang dirasakannya mengancam hasil produksi, seperti pencurian ikan. Ihwal yang terakhir, dirinya tidak jarang bermalam di lokasi tambak demi memastikan bahwa ikan atau udangnya aman dari pencurian.

Keterlibatan secara langsung Ibu Mahrani dalam aktvitas budidaya mengungkap hal lain. Perlahan dirinya menyadari bahwa hampir keseluruhan sarana produksi sepenuhnya tidak cukup operatif bagi Perempuan baik secara skala massa dan model. Seperti jaring lempar (lokal: jala) sebagai alat tangkap hampir keseluruhannya berukuran besar dengan bobot yang berat yang diakui oleh dirinya tidak cukup mampu dioperasikan. Beberapa waktu belakangan dirinya memiliki alat tangkap yang lebih mudah dioperasikan yakni jaring pasang (lokal; poro’), meski pun ukuran massanya masih terlalu besar serta mendapatkannya dengan harga yang lebih mahal.

Keyakinan para pihak termasuk di dalamnya kelompok Masyarakat mesti terjadi suatu transformasi bahwa akses kelompok dan pengorganisasian Masyarakat haruslah terbangun dalam rasa dan karsa yang lebih kohesif. Sehingga dengan demikian akses informasi, kesempatan dan juga kesepakatan atau aturan-aturan komunitas dapatlah menggali berbagai permasalahan Perempuan.

Dukungan regulasi dalam skala yang lebih makro juga mesti dapat diakselerasi oleh kelompok Perempuan seperti akses perlindungan sosial dan modal. Banyak Perempuan yang merasakan dampak terbatasnya akses ini seperti minimnya informasi dan peluang. Terdapat banyak kelompok Perempuan petambak dan/atau Perempuan keluarga petambak yang menjalankan usaha namun dianggap stagnam sebab kesulitan untuk mengakselerasi usahanya baik kapasitas dan modal, inovasi, serta pada umumnya tergantung pada modal pemberian suami.

Dukungan makro mesti berselaras dengan upaya yang berskala mikro seperti penguatan Masyarakat di akar rumput, yang salah satu metodologi dan langkah taktisnya adalah pendampingan kelompok Masyarakat. Upaya pendampingan yang ditempuh dengan pelibatan baik dalam skala normatif dan akselerasi penguatan kapasitas, dapat diharapakan terkonsolidasi dengan kelompok Perempuan untuk meneguhkan posisinya sebagai kelompok yang seharusnya memiliki peran strategis dalam komunitas atau kelompok Masyarakat. Hal ini tentu bukan suatu yang an sich dan ahistoris, sebab sejarah membuktikan bahwa Perempuan memiliki peran yang sangat strategis dan krusial dalam kehidupan publik komunitas atau kelompok Masyarakat.

Dalam konteks budaya Bugis-Makassas, masyarakat mengenal adaq baine (adat Perempuan), di mana Perempuan mengambil peran dalam ritual kebudayaan seperti dalam acara pernikahan, khitanan, ataupun dalam berbagai acara syukuran, khususnya dalam penyelengaraan acara penjagaan dan penyucian pusaka keramat (lokal; kalompoang) dalam Masyarakat, di mana eksistensi perempuan begitu nampak dalam ranah dan peran publiknya.

Dalam Kuasa dan Usaha di Masyarakat Sulawesi Selatan (Chrsitian Pelras, etc), diungkapkan bahwa Adaq Baine merupakan suatu aktualisasi dan refleksi bagaimana Perempuan memiliki peran yang sangat kuat dalam alam pikir dan ritus kehidupan Masyarakat Sulawesi Selatan yang sering direpresentasikan sebagai Masyarakat Bugis Makassar Mandar dan Toraja, komunitas yang dalam alam pikir kebudayaannya tidak hanya mengenal Perempuan dan Laki-Laki tetapi lebih dari dua gender yakni Urane, Baine, Calalai, Calabai, dan Bissu.

Konteks pelaksanaan Program IISAP, khususnya di Bulukumba Sulawesi- Selatan, seyogyanya dapat menunjukkan suatu praktek keterlibatan Perempuan dalam ritus dan ritual yang lebih publik, sebagaimana dapat kita tunjukkan dalam kehidupan Masyarakat Adat Kajang, suatu komunitas Adat yang berjarak sekitar 20 kilometer dari lokasi kunci Program. Dalam Masyarakat Adat Kajang, komunitas ini mendudukkan Perempuan dalam posisi yang cukup strategis dan vital dalam kehidupan komunitas adat. Meskipun secara normatif komunitas adat dipimpin oleh seorang lelaki bergelar Ammatoa atau orang yang dituakan, namun legitimiasi kepemimpinan Ammatoa justru dikukuhkan oleh seorang Anrong atau Ibu, yakni salah satu struktur kunci dalam kehidupan ritus dan ritual komunitas adat Kajang.

Konteks sejarah serta fakta kehidupan dari dua kisah perempuan Ibu Roswani dan Ibu Mahrani, sekurang-kurangnya telah memberikan titik berangkat untuk memulai peta jalan bagaimana Perempuan dapat berdaya dalam kehidupan sosial ekonomi Masyarakat.

Asrul. Penulis saat ini tergabung dalam Tim Fasilitator IISAP-ADB untuk Site Kabupaten Bulukumba

Lampiran File:
Mengupayakan Pendampingan yang Kohesif Bagi Kelompok Perempuan.pdf