
ROTASI TAMBAK : MANFAATKAN WAKTU ANTAR MUSIM BUDIDAYA DI KABUPATEN WAJO
Dalam dunia akuakultur, khususnya di kawasan pesisir Indonesia, pengelolaan tambak yang efisien dan berkelanjutan menjadi kunci utama keberhasilan usaha perikanan. Salah satu strategi yang semakin populer dan terbukti efektif adalah rotasi tambak, yaitu praktik budidaya dua jenis spesies ikan atau udang secara bergantian dalam satu siklus tahunan. Salah satu contoh yang sering diterapkan adalah rotasi antara bandeng (ikan) dan udang (vaname). Strategi ini tidak hanya meningkatkan produktivitas lahan, tetapi juga memanfaatkan waktu antar musim budidaya secara optimal, menghindari kerusakan ekosistem tambak, serta meningkatkan pendapatan petambak.
Memasuki musim hujan, petambak melakukan budidaya bandeng selama sekitar dua hingga tiga bulan, tergantung pada kondisi lingkungan dan pasaran. Setelah panen bandeng, tambak tidak dibiarkan menganggur, melainkan langsung dipersiapkan kembali untuk budidaya udang kembali. Waktu antar musim budidaya ini yang biasanya hanya digunakan untuk pembersihan dan pemulihan lahan yang dijadikan momentum strategis untuk transisi ke komoditas lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Dengan demikian, masa idle atau tidak produktif dapat diminimalkan.
Salah satu manfaat utama dari rotasi tambak adalah pemanfaatan sisa nutrisi dalam tambak. Bandeng merupakan ikan herbivora-omnivora yang memakan plankton dan bahan organik di dasar tambak. Selama masa budi dayanya, bandeng membantu mengendalikan pertumbuhan alga berlebih dan memperbaiki kualitas dasar tambak. Sisa bahan organik dan mikroorganisme yang tertinggal setelah panen bandeng justru menjadi sumber pakan alami bagi udang, sehingga dapat mengurangi kebutuhan pakan buatan di awal pemeliharaan udang.
Selain aspek ekologis, rotasi tambak juga memberikan keuntungan ekonomi yang signifikan. Udang memiliki nilai jual yang lebih tinggi dibandingkan bandeng, sehingga petambak dapat memperoleh pendapatan tambahan dalam waktu relatif singkat. Dengan sistem rotasi, petambak bisa memanen dua hingga tiga kali dalam satu periode tanpa harus menunggu lama atau merusak ekosistem tambak. Hal ini meningkatkan efisiensi usaha dan stabilitas pendapatan rumah tangga.
Tidak kalah penting, rotasi tambak juga membantu mencegah degradasi lahan dan penyakit. Budidaya monokultur secara terus-menerus, terutama udang, sering menyebabkan akumulasi limbah organik, penurunan kualitas tanah, dan peningkatan risiko penyakit seperti WSSV (White Spot Syndrome Virus). Dengan menyisipkan budidaya bandeng, kondisi tambak dapat "direset" secara alami. Bandeng berperan sebagai "pembersih alami" yang membantu memulihkan keseimbangan ekosistem sebelum udang ditebar kembali.
Namun, keberhasilan rotasi tambak sangat bergantung pada manajemen yang baik, termasuk pengelolaan kualitas air, waktu panen yang tepat, dan pemahaman petambak terhadap karakteristik masing-masing spesies. Pelatihan, pendampingan, dan akses informasi teknologi budidaya menjadi faktor pendukung penting agar sistem rotasi ini dapat diterapkan secara luas dan berkelanjutan.
Rotasi tambak bandeng-udang di Kabupaten Wajo bukan juga sekadar pergantian komoditas. Ini adalah strategi adaptif yang memanfaatkan dinamika alam—khususnya perubahan musim—sebagai kekuatan, bukan hambatan. Di tengah ancaman perubahan iklim dan tekanan terhadap sumber daya pesisir, model ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan bisa berjalan beriringan. Dalam konteks perubahan iklim dan tekanan terhadap sumber daya pesisir, rotasi tambak menawarkan solusi cerdas yang menggabungkan aspek ekologis, ekonomi, dan sosial.
Ke depan, rotasi tambak perlu menjadi bagian dari kebijakan pengembangan perikanan berkelanjutan di Wajo. Dengan dukungan pemerintah, inovasi teknologi, dan pemberdayaan petambak, Kabupaten Wajo dapat menjadi contoh nyata bagaimana tradisi, inovasi, dan kearifan lokal menyatu dalam membangun sektor perikanan yang lebih produktif, lestari, dan sejahtera.
“Wajo tidak hanya mengalirkan air, tetapi juga mengalirkan kemakmuran dari tambak-tambaknya—dengan bijak, berkelanjutan, dan penuh harapan”.
Di atas tanah yang pernah dikenal sebagai pusat peradaban Bugis, kini lahan tambak menjadi saksi bisu dari semangat petambak yang terus berinovasi. Dengan rotasi tambak bandeng-udang, Kabupaten Wajo tidak hanya membangun ekonomi perikanan, tetapi juga membangun masa depan—di mana alam dan manusia tumbuh beriringan, dalam harmoni dan kesejahteraan.