
Dari Tanaman Liar, Kini Berubah Menjadi Hama
Dari Tanaman Liar, Kini Berubah Menjadi Hama
Jembrana, Bali – Budidaya udang vanamei (Litopenaeus vannamei) secara tradisional telah menjadi tumpuan ekonomi masyarakat pesisir Jembrana. Namun, di tengah harapan panen yang melimpah, para petambak kini menghadapi tantangan serius yang datang dari organisme yang kerap dianggap sepele: lumut. Keberadaan lumut di tambak udang tidak hanya mengganggu pertumbuhan udang, tetapi juga menimbulkan potensi kerugian besar, terutama di musim kemarau seperti saat ini.
Lumut yang tumbuh subur di dasar dan permukaan tambak adalah jenis mikroalga dan makroalga yang mampu berkembang dengan cepat dalam kondisi perairan tertentu. Meskipun dalam jumlah terbatas lumut dapat membantu menyerap nutrien berlebih dan memberikan oksigen melalui fotosintesis, pertumbuhannya yang tak terkendali justru menjadi hama. Dalam sistem budidaya tradisional yang minim teknologi dan kontrol kualitas air, pertumbuhan lumut yang masif sering kali menyebabkan:
- Penurunan kualitas air akibat fluktuasi pH dan oksigen terlarut.
- Peningkatan senyawa beracun seperti amonia akibat dekomposisi lumut mati.
- Gangguan pada pola makan udang dan pergerakan di dasar tambak.
- Potensi munculnya penyakit akibat lingkungan yang tidak stabil.
Musim kemarau yang sedang berlangsung di Bali saat ini memperparah kondisi tersebut. Suhu tinggi, paparan sinar matahari yang lebih intens, dan minimnya curah hujan menciptakan lingkungan yang ideal bagi pertumbuhan lumut, terutama jenis filamentous algae seperti Spirogyra dan Cladophora. Ketersediaan nutrien dari sisa pakan dan limbah organik di tambak turut menjadi bahan bakar alami bagi proliferasi lumut. Kurangnya sirkulasi air dan pendinginan alami dari hujan juga menyebabkan suhu air tambak meningkat hingga melebihi ambang toleransi ideal bagi udang vanamei, yaitu 28–30°C. Kondisi ini mempercepat metabolisme lumut dan memperlambat pertumbuhan udang, bahkan bisa menyebabkan stres dan kematian massal.
Para petambak tradisional di Jembrana, yang umumnya mengandalkan metode alami tanpa sistem aerasi atau filtrasi mekanis, mengalami kesulitan besar dalam mengendalikan ledakan lumut. Tidak sedikit tambak yang mengalami gagal panen atau panen di bawah target produksi akibat kualitas air yang memburuk. Beberapa langkah adaptasi yang kini mulai dicoba oleh petambak lokal meliputi:
- Pemanenan manual lumut menggunakan jaring atau alat penyaring.
- Penambahan molase untuk menyeimbangkan karbon dan menghambat pertumbuhan alga.
- Menggunakan probiotik yang mampu mengendalikan mikroorganisme dan mendekomposisi limbah organik.
- Penerapan sistem pengairan bergilir untuk menyegarkan kolom air secara berkala, meskipun sulit diterapkan tanpa irigasi yang memadai.
Lumut kini bukan hanya dianggap sebagai tanaman liar, tetapi telah menjadi hama nyata dalam budidaya udang vanamei, terutama di tengah tekanan iklim seperti musim kemarau. Kondisi ini menuntut perhatian lebih serius dari para petambak, penyuluh perikanan, hingga pemerintah daerah dalam hal penyediaan teknologi tepat guna, pelatihan pengelolaan kualitas air, serta rehabilitasi sistem irigasi tambak. Dalam jangka panjang, integrasi pendekatan ekologi, manajemen pakan, dan penggunaan bahan ramah lingkungan menjadi kunci untuk menekan pertumbuhan lumut dan menjaga keberlanjutan budidaya udang vanamei di Jembrana.